Menyapa Sunyi di Matsumoto-shi
Menyapa Sunyi di Matsumoto-shi (foto:dok.pribadi)


Januari 2019

Aku melangkah sembari menyeret koper berukuran 24 inci di sepanjang trotoar. Entah aku tak ingat jam berapa tepatnya, tapi itu hampir tengah malam. Aku ingat Shinkansen yang kutumpangi dari stasiun Shinjuku memang dijadwalkan tiba di Matsumoto-shi sekitar pukul 22.30 atau 23.30, waktu Jepang tentu saja.

Aku tak sendirian. Bersama seorang teman, yang baru saja kukenal beberapa jam lalu di bandara Narita. Seorang blogger dari Singapura, sebut saja dia miss Dee. Tingginya hampir 175 cm, dengan rambut sebahu yang dicat pink dan kombinasi blonde sedikit. Matanya sipit dengan kacamata hitam.

Selama 9 hari ke depan, aku dan Miss Dee akan menjadi teman trip. Selain itu, kami berdua juga ditemani seorang pemandu wisata, seorang Jepang tulen. Mari kita panggil beliau sebagai Mrs. Tomi dan dia sangat cantik dengan bahasa Inggris yang fasih.

Malam itu, Mrs. Tomi menjemputku dan Miss Dee di stasiun Matsumoto. Hampir tengah malam begitu aku sempat khawatir kalau-kalau tidak ketemu Mrs. Tomi. Tapi nyatanya, Mrs. Tomi sudah tahu kami ada di gerbong mana dan menunggu di pintu kereta dengan memegang kertas HVS ukuran A3 bertuliskan namaku dan Miss Dee.

Mrs. Tomi tak sendiri malam itu, ia ditemani (sebut saja) Mr. Mura yang merupakan salah satu penanggung jawab di proyek kami tersebut. Setelah berkenalan singkat dengan Mrs. Tomi dan Mr. Mura, kami segera diajak untuk ke hotel.

Ternyata, jarak stasiun ke hotel dekat saja, amat dekat malah. Hanya 5 menit berjalan kaki, sehingga akan sangat memalukan malah kalau kami minta kendaraan untuk ke hotel. Sambil mengobrol ringan, kami berjalan menyusuri aspal jalanan yang dingin karena memang saat itu sedang winter.

Sayangnya, aku belum lihat salju di jalanan aspal tersebut. Hanya saja memang dinginnya menusuk. Belum lagi sepinya minta ampun. Aku sampai bisa mendengar suara roda koper yang berisik karena beradu dengan aspal. Kadang aku berusaha keras agar si roda koper tidak terlalu berisik karena takut mengganggu tidur warga-warga sekitar, meskipun itu area kota dan bukan area pemukiman warga sipil.

Untung saja jarak hotel dengan stasiun dekat saja, sehingga aku tak perlu merasa tak enak hati terlalu lama akibat roda koper yang beradu dengan aspal jalan. Tak jauh aku sudah melihat hotel tempat kami berdua menginap malam itu. Sebuah hotel yang cukup megah menurutku. Sayangnya ponselku yang merupakan ponsel low-end tak mampu mengabadikan foto hotel tersebut dengan baik akibat kondisi malam hari, blur hasilnya. Kecewa, tapi tak apalah.

Hotel Buena Vista Matsumoto-shi
Hotel Buena Vista Matsumoto-shi terlihat dari kejauhan

Sampai di lobi hotel kami disambut petugas. Mrs. Tomi langsung bergegas untuk melakukan check-in untuk kami berdua. Tak perlu lama, kami sudah mendapatkan kunci untuk ke kamar masing-masing. O ya, aku dan Miss Dee mendapatkan kamar yang terpisah.

Aku tak sabar untuk segera masuk kamar dan menghangatkan diri. Mrs. Tomi sangat ramah dan baik hati. Ia mengantarku ke kamar dan menjelaskan beberapa hal, misalnya pemanas ruangan, telepon, toilet, dsb. Bahasa Inggris Mrs. Tomi sangat fasih, aku tak mengalami kesulitan untuk memahami semua penjelasannya.

Aku mengangguk-angguk mengonfirmasi setiap penjelasannya dan berusaha mengingat-ingat. Terutama alat untuk menjaga kelembaban kamar yang sepertinya rumit dan baru pertama kulihat. Pemanas ruangan dikontrol menjadi satu dengan AC, jadi mudah saja. 

Sementara toilet, memang baru pertama kulihat toilet di Jepang yang banyak tombolnya itu hehehe. Persoalan toilet Jepang ini, mungkin kita bahas di artikel tersendiri nanti, ya.

Toilet jepang dengan banyak tombol pengaturan
Toilet jepang dengan banyak tombol pengaturan (foto: dok.pribadi)

Setelah selesai berurusan dengan tetek bengek kamar, Mrs. Tomi segera pamit agar aku bisa beristirahat malam itu. Maklum saja, besok pagi-pagi benar kami sudah harus bertemu di lobi untuk sarapan dan memulai trip panjang selama 9 hari ke depan.

Aku memutuskan untuk mandi malam itu meski suhu dingin seperti es. Kulihat handphone dan suhu menunjukkan 4 derajat celcius. Kamar mandi dengan pemanas air sudah pasti tersedia di hotel-hotel di Jepang khusus musim dingin begini, bahkan tanpa winter pun air panas pasti sudah ada di setiap hotel manapun tak hanya di Jepang. Kubayangkan meringkuk di balik selimut tebal hotel sehabis mandi air hangat pasti melegakan penat.

Meski air panas untuk mandi tersedia, aku jelas tak mau berlama-lama di kamar mandi. Cukup mandi sekedar untuk menghilangkan keringat dan penat akibat perjalanan panjang tanpa henti dari Yogyakarta - Jakarta, Jakarta - Narita, Narita - Matsumoto shi.


Benar saja, sehabis mandi air hangat tidurku nyenyak sekali malam itu...

Bersambung...