Pilih kartu kredit atau paylater? barangkali adalah pertanyaan yang sering muncul belakangan ini. Inipun karena dewasa ini menjamur beragam cara pembayaran, eh maksudnya adalah sumber pembiayaan yang sifatnya kredit. Contoh sumber pembiayaan yang bersifat kredit atau hutang misalnya kartu kredit, yang sudah ada jauh sebelum teknologi begitu maju seperti sekarang ini.

Nah, sekarang ini ketika teknologi semakin maju, muncul lagi sumber pembiayaan bersifat kredit/hutang yang berbasis aplikasi mobile, yaitu paylater. Apa itu paylater? Sebetulnya pay later cuma sebutan saja ya. Kegiatannya sama saja yaitu meminjam uang untuk membeli suatu barang. Jadi, buibu bisa beli barangnya sekarang, bayarnya nanti pas abis bulan (atau periode, yang ditentukan oleh aplikasinya).

Jadi, kartu kredit vs paylater, apa bedanya? Yuk, kita pahami lebih dekat keduanya.

Apa Beda Kartu Kredit dan Paylater?

kartu kredit atau paylater?


Kartu kredit dan paylater sama-sama bergerak di bisnis perkreditan, dan sifatnya kredit konsumtif yaitu kredit untuk kebutuhan konsumtif, misalnya belanja, makan, minum, beli handphone, beli laptop, dan sebagainya.

Soalnya kredit kan ada banyak jenisnya bun, ada kredit yang bersifat investasi seperti kredit untuk modal usaha. Kalo kredit perumahan dan kendaraan sih masuk kredit konsumtif juga, ya bun.

Balik lagi ke kartu kredit. Jaman dahulu kala, kartu kredit sudah tercipta, mungkin pertama kali tercipta ketika jaman kakek nenek kita, bun. Cuma memang masuk ke Indonesia ketika tahun 90an.

Kartu kredit adalah kartu ajaib, buibu yang lagi ga punya uang, tinggal gesek kartu kredit bisa tuh belanjaan langsung kebayar. Lah, pake duit siapa tuh si kartu? Ya duit dari bank yang ngeluarin kartu kreditnya. Jadi ini buibu ceritanya ngutang ke bank.

Ingat ya, yang namanya hutang itu wajib banget dibayar. Jangan ditinggal begitu aja sampe lupa. Kalo sampe lupa, bisa-bisa kena bunga yang bisa beranak pinak bun, jadi ngeri.

Kartu kredit bentuknya ya kartu, secara fisik bisa dilihat, diraba, disentuh, gak bisa diterawang tapi bun, soalnya gak transparan (seringnya). Bentuk kartu kredit bisa di googling yah, ada buanyak bangett.

Dimana bisa mendapatkan kartu kredit?

Kartu kredit dikeluarkan oleh bank (umumnya sih bank, tapi ada juga lembaga yang ngeluarin kartu kredit sendiri, kayak kartu kredit AEON). Nah, bank di Indonesia kan macam-macam, ada Bank BNI, Bank BCA, Bank BRI, Bank Mandiri, termasuk bank swasta ya seperti Bank Danamon, Bank BCA, Citibank, dsb. Bank-bank tersebut rata-rata mengeluarkan kartu kredit, lho. Tiap-tiap bank juga mengeluarkan lebih dari satu jenis kartu kredit, tergantung kebutuhan pokoknya.

Nah, gak sembarang orang bisa mendapatkan kartu kredit. Mengapa? Balik lagi, karena kartu ini ajaib. Dengan memakai kartu kredit mereka, buibu bisa belanja apapun (selama limit/plafond kartu kredit yang dikasih mencukupi) kapanpun dimanapun, dengan mudah tentunya.

Sama kalau buibu mengajukan pinjaman ke bank, kan ada seleksi ketat tuh, harus ada dokumen-dokumen, bahkan harus ada agunan/jaminan seperti sertifikat tanah, BPKB kendaraan, dsb, ya kan?

Kartu kredit pun begitu, ada seleksi ketat yang harus dilalui para calon nasabah. Bank selektif banget mulai dari ngecek dokumen, ngecek background buibu termasuk informasi pekerjaan dan gaji perbulan.

Kenapa sih ketat banget?

Soalnya, kartu kredit ini sifatnya tanpa agunan/jaminan. Jadi, buibu tidak perlu melampirkan jaminan apapun untuk ‘berhutang’ menggunakan kartu kredit (nantinya). Modal trust atau kepercayaan lah yang sangat diandalkan di sini. Makanya bank harus tahu nih, dimana buibu bekerja, dimana alamat kantornya, sudah berapa lama kerja, siapa supervisor nya, berapa nomornya, berapa gaji per bulan buibu, apa status pekerjaan buibu (tetap/kontrak), dan sederet pertanyaan lain yang akan diajukan ke buibu dan ke supervisor buibu. Hehe, ribet ya? Iya begitu deh.

Memang terdengar ribet ya, tapi memang begitu prosedurnya. Ini untuk meminimalisir kredit macet alias gak bisa bayar hutang! Jadi, bisa dibilang nih kartu kredit adalah fasilitas untuk orang yang punya duit bun, aka yang dinilai bisa bayar hutang. Begitu loh.

Loh, kalo punya uang, kenapa gak pake uang tunai atau kartu debit aja? Daripada ngutang!

Yaa, ee, jadi begini. Pada perkembangannya, kartu kredit dikasih benefit-benefit yang menarik (sebut saja gimmick) misalnya yang paling menarik adalah cicilan nol persen aka tanpa bunga sama sekaleh.

Bekerjasama dengan merchant (toko), bank bisa kasih promo cicilan nol persen. Jadi, misal buibu mau beli iphone 13 Ibox di Shopee, buibu bisa tuh bayar pakai kartu kredit trus metode bayarnya cicilan nol persen, langsung lewat Shopee bisa karena ada kerjasama.



O yaa, kenapa gak pakai uang tunai?

Yaa, misal ada orang kayah mau beli tas hermes harga miliaran, kan tidak mungkin dia bawa uang tunai milyaran. Selain berisiko dirampok, yaa gak praktis aja lah.

Terus, kenapa gak pakai kartu debit aja?

Nah, ini yang mungkin sulit dijawab. Bisa sih pakai kartu debit, sekarang pun kartu debit dari segi fungsi dan keamanan sudah setara kartu kredit. Tapi, ya mungkin memang ada orang-orang yang lebih suka pakai kartu kredit dengan tujuan ingin membangun skor kredit yang bagus. Kalau skor kredit bagus, nanti untuk mengajukan pinjaman akan lebih mudah. Mungkin konsep ini lebih sering diadopsi para pengusaha, ya bun. Kayaknya sih gitu.

Kayaknya ulasan mengenai kartu kredit segitu dulu sih ya, semoga buibu lebih paham. Mungkin ke depan saya bikin ulasan lebih dalam lagi mengenai kartu kredit.

Sekarang kita beralih ke paylater.

Apa Itu Paylater?

Paylater adalah hal yang termasuk baru juga di saya. Tapi saya sendiri bukan pengguna paylater. Saya memang suka memperhatikan produk-produk finansial terbaru bun, termasuk paylater ini.
Sebagai ‘tukang belanja online’ akun saya sering banget terima notif, ‘Ajukan paylater sekarang, dapatkan limit sekian juta rupiah’. Dapet notif begitu di aplikasi mobile, tinggal klik langsung ke halaman application. Wah gampang banget ya bun, kalau gak baca dengan detil dan langsung isi sana sini dan apply bisa bahaya tuh.

Buibu biasakan untuk membaca dengan detil, dengan seksama, pahami poin-poinnya, jangan hanya fokus dengan penawarannya. Apa saja syarat dan ketentuannya, pahami risikonya, dan pertimbangkan untung ruginya.

Saya dengan menerapkan prinsip di atas ini, memutuskan untuk tidak pernah menerima tawaran paylater yang bertubi-tubi masuk, entah itu Shopee Paylater, Gopaylater, apalagi yah sampe lupa hahaha.

Mengapa saya enggan dengan paylater?

Ya soalnya saya merasa belum butuh bun. Saya merasa kebutuhan saya berbelanja online masih bisa saya akomodir dengan instrumen finansial yang saya punya, baik itu virtual account, atau e-wallet, atau kartu kredit (yang sekarang sudah jarang saya pakai).

Ketika sudah punya mobile banking, e-wallet, dan kartu kredit saya merasa sudah cukup. Sehingga saya enggan menerima tawaran paylater. Belum lagi saya merasa fungsi paylater juga tak jauh beda dengan kartu kredit.

Pokoknya fungsi paylater tak jauh beda dengan kartu kredit. Bedanya, kalau kartu kredit berbentuk kartu fisik untuk digesek di mesin edc di kasir, sedangkan paylater tidak ada.

Paylater sangat berbasis aplikasi mobile. Mulai dari pengajuan, verifikasi data diri, sampai approval semua serba online. Ketika approved, buibu bisa melihat berapa limit/plafond pinjaman yang diberikan. Kalau pemula, standarnya sih berapa ya kalau paylater saya juga kurang tahu hehe.

Nah dengan limit paylater tersebut, buibu bisa checkout belanjaan online. Tapi ingat, lagi-lagi ini hutang, yang harus dibayar. Sebisa mungkin, jangan belanja melebihi kemampuan buibu ya. Kalau buibu beli Iphone 13 di Shopee dengan cicilan paylater, itu artinya buibu yakin ada uang untuk mengangsurnya ketika tagihan paylater muncul. Kalau tidak begitu, nanti bisa repot, lho.

Kemudian, hal lain yang harus diperhatikan dengan seksama ketika menggunakan paylater tentu adalah syarat dan ketentuannya. Berapa bunganya? Apakah ada biaya adminnya? Berapa denda keterlambatannya? Dan lain sebagainya. Biaya-biaya tersebut harus dipahami supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Kalau menolak atau tidak setuju dengan biaya-biaya yang ada, maka paylater bukan untuk buibu.

Pesan saya, selalu pelajari produk paylaternya, ketahui manfaatnya, pelajari risikonya, timbang baik buruknya untuk buibu. Kalau dirasa lebih menimbulkan keburukan, sebaiknya dihindari saja. Tapi, kalau buibu merasa membutuhkan atau ini ada manfaatnya, silakan dipakai, hanya saja tetap pahami risiko dan kewajiban-kewajiban yang mengikutinya.